Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlussholihien Jember Jawa Timur
Semua orang tua pada umumnya mengharapkan mempunyai anak sholeh/ sholehah sebagai buah pernikahan mereka. Bahkan mendapatkan anak sholih adalah salah satu tujuan pernikahan seperti yang diterangkan dalam Kitab Ihya ‘Ulumiddin Bab Nikah. Nabi Ibrahim memanjatkan doa khusus kepada Allah agar diberi anak keturunan yang sholeh; Rabbi habli min Al-Sholihien. Nabi Zakaria pun demikian. Dalam usia senja terus memanjatkan doa agar supaya diberi keturunan yang baik/ sholeh; Rabbi habli min ladunka dzurriyyatan thoyyibah. Ini menunjukkan betapa pentingnya anak sholeh dalam kehidupan rumah tangga dan betapa bahagianya orang tua yang mempunyai anak sholih. Mereka tidak hanya bahagia ketika masih hidup di dunia karena anaknya berbakti terutama dalam usia senjanya.
Betapa banyak orang tua yang kesepian meskipun anaknya banyak
karena anak-anaknya tidak ada yang peduli. Jangankan membiayai, menengokpun
tidak sempat. Padahal ketika anak masih kecil orang tua bekerja keras
membanting tulang untuk anak. Sungguh ironi, orang tua kaya anak ikut kaya.
Orang tua makan enak, tinggal di rumah mewah, naik mobil bagus anak juga ikut
merasakan. Bagaimana kalau dibalik? Betapa banyak orang tua menjadi pembantu
anaknya yang kaya, subhanallah.
Ketika sudah meninggal pun anak yang sholeh akan memberikan pahala
yang tidak terputus kepada orang tuanya, bahkan
di akhirat kelak anak yang sholeh akan memuliakan derajat orang tuanya. Dalam
satu hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah
bersabda: “Apabila anak adam meninggal, akan terputus semua amalnya kecuali 3
perkara: amal jariyah, ilmu yangg bermanfaat, anak sholih yang mendoakan orang
tuanya. Imam Ahmad dalam Musnad nya meriwayatkan Hadits Nabi Saw yang
menceritakan besok di akhirat ada orang tua yang mendapatkan derajat yang
sangat tinggi sehingga orang tua tersebut heran hampir tidak percaya karena
merasa amalnya di dunia tidak terlalu istimewa, sehingga layak dibalas dengan
derajat semulia itu. Dia bertanya kepada Allah apakah betul derajat yang tinggi
itu memang untuk dirinya. Allah menjawab; betul, karena doa dan istighfar
anak-anakmu, subhanallah.
Namun demikian, karena anak sholih sangatlah berharga
maka mendapatkannya juga tidaklah mudah. Menjadikan anak sholih adalah
perjuangan panjang yang memerlukan ilmu, kesabaran, riyadloh dan lain
sebagainya. Tidak semua orang tua mengerti cara atau kiat-kiat menjadikan anak
sholih. Tulisan ini sangatlah terlalu sederhana untuk memahami kiat-kiat
menjadikan anak sholih. Namun demikian mudah-mudahan tulisan sederhana ini
bermanfaat memberikan sedikit pengetahuan dan informasi kepada para orang
tua.
Pemilihan
Pasangan
Anak sholih bukanlah produk instan. Mereka adalah hasil dari sebuah
proses panjang bahkan proses itu dimulai sebelum suatu pernikahan dilangsungkan, yaitu bagaimana kita memilih pasangan hidup
atau suami istri kita. Alqur’an menganalogikan suami istri sebagai petani dengan
sawahnya. Allah berfirman; Nisaaukum khartsun lakum faktuu khartsakum annaa
syiktum (istrimu adalah sawah atau ladang bagimu, maka datangilah sawahmu
sesukamu). Ayat ini diterangkan dalam kitab Tafsir Jalalain, bahwa suami adalah petani sedangkan istri
adalah sawah ladang. Imam Ghazali menerangkan pemilihan pasangan adalah sangat
menentukan. Beliau menafsirkan ayat 58 surat Al-A’rof; Wa al-baladu al-thoyyibu yakhruju nabaatuhu bi idzni robbihi Wa
al-ladzi khobutsa laa yakhruju illa nakidaa. Tanah yang subur akan
menghasilkan tanaman yang subur, sedangkan tanah yang kering / tandus
akan menghasilkan tanaman yang kering pula. Kata Al Ghazali yang dimaksud tanah
subur adalah orang tua yang sholih. Artinya, orang tua yang sholih akan
menghasilkan anak yang sholih.
Banyak contoh yang sudah ditunjukkan Allah. Nabi Ibrahim mempunyai
anak Nabi Ismail dan Nabi Ishaq yang mempunyai anak Nabi Ya’qub dan mempunyai
anak Nabi Yusuf. Nabi Daud mempunyai putra Nabi Sulaiman. Sayyidina ‘Abbas
mempunyai putra Abdullah bin Abbas yang sangat tersohor ilmunya di kalangan
sahabat. Umar bin Khattab mempunyai putra Abdullah bin Umar yang luar biasa.
Sunan Ampel yang wali adalah putra wali Syech Ibrahim Asmaraqandi yang
merupakan putra dari wali Syech Jumadil Kubro. Sunan Ampel mempunyai putra yang
juga wali Sunan Bonang yang berputra Sunan Drajat. Sunan Kalijaga yang menjadi
menantu Sunan Ampel mempunyai putra Sunan Muria, subhanallah. Terkadang
banyak orang tua yang aneh dan lucu. Mereka ingin mempunyai anak sholih akan
tetapi mereka tidak mau mensholihkan dirinya terlebih dahulu.
Berdasarkan hal tersebut, maka hendaknya wanita sholihah mencari
laki-laki yang sholih sebagai pasangan hidupnya, demikian juga sebaliknya.
Dalam mencari calon istri Nabi mengajarkan; Fadlfar bidzatiddin, pilihlah
wanita yang beragama. Memilih calon suami pun Nabi menganjurkan; Idzaa
aataakum man tardlowna diinahuu wa chuluqohuu fazawwijuuhu, apabila datang
laki-laki yang engkau ridlo agama dan akhlaknya maka nikahilah. Demikianlah keterangan dalam kitab Riyadlussholihien dan Ihya’ Ulumiddin.
Rizki
Yang Halal
Dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menerangkan
pentingnya rizki halal dalam membentuk kesholihan seseorang. Salah satunya
adalah surat Al-Mukminun 50; yang artinya; Wahai para Rasul makanlah
yang thoyyib/ halal dan beramallah yang sholih. Ayat ini
ditafsiri olah Al-Ghazali dalam Ihya’ nya bahwa Allah memerintahkan
makan yang halal sebelum amal sholih. Maksudnya seseorang tidak bisa jadi orang
sholih kalau yang dimakan tidak halal, subhanallah.
Syekh Ali Al-Syadzili dalam Kitab Sullam Al-Taufiq menngatakan bahwa
orang yang makan barang haram akan keras hatinya. Kalau sudah keras hatinya
bagaimana bisa menerima nasehat, ilmu dan lain sebagainya, masyaallah.
Makanya para orang tua yang merasa anaknya tidak sesuai harapan bahkan ada yang
berani dan melawan kepada orang tua hendaknya tidak semata-mata menyalahkan
atau marah-marah kepada anak tapi juga mengevaluasi apakah rizki yang selama
ini sudah diberikan kepada anak, apakah sudah dijaga kehalalannya. Bukankah
Allah memerintahkan kita melihat makanan kita dalam firman-Nya; “maka hendaknya manusia melihat makanannya”.
Pendidikan Anak
Pendidikan yang dimaksud disini bukan hanya pendidikan secara
formal, sekolah dan lain sebagainya, akan
tetapi pendidikan secara luas, yaitu pola didik, pola asuh, pola
tingkah laku, penanaman nilai dan lain sebagainya, terutama pendidikan agama yang dilakukan olah orang tua dalam
keluarga, sebagai lingkungan pertama dan paling utama dalam
kehidupan anak. Inilah yang banyak tidak dipahami oleh para orang tua. Mereka
menganggap pendidikan hanyalah sekolah, kuliah dan lain sebagainya, secara
formal yang ukuran keberhasilannya adalah angka, raport, ijazah, lulus/ tidak
lulus dan lain sebagainya. Banyak orang tua yang tidak hadir dalam
kehidupan dan pendidikan anak, padahal fungsi dan peran orang tua tidak
bisa digantikan oleh guru sepintar dan sehebat apapun.
Islam mengajarkan bahwa pendidikan keluarga adalah pendidikan
pertama dan paling utama, Al-Ummahaat Al-Madrosat Al-Ula, karena yang paling mengerti kelebihan dan kelemahan anak adalah
orang tua. Allah menitipkan anak kepada orang tua bukan kepada guru atau
sekolah. Besok di akhirat, orang tualah yang harus mempertanggungjawabkan
kepada Allah. Realitas yang terjadi justru banyak orang tua yang hanya
berfungsi donasi, membiayai anak secara materi sedangkan ruhani, akhlak,
perilaku, ibadah, keimanan dan lain sebagainya tidak diperhatikan. Banyak yang
berpikir yang penting anaknya bisa sekolah di sekolah favorit dan kalau perlu membayar/ menyuap, subhanallah. Padahal anak
adalah titipan Allah yang butuh kasih sayang, perhatian, pelukan dan semacamnya. Itu semua hanya bisa didapat dalam keluarga
dan tidak bisa diperoleh di sekolah.
Makanya tidak heran kalau banyak anak yang menonjol secara
intelektualitas tapi moralitas dan spritualitasnya memprihatinkan.
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan orang tua dan
banyaknya orang tua yang melalaikan pendidikan agama kepada anaknya, bahkan menganggap pendidikan agama tidaklah
penting. Padahal agama adalah modal utama pendidikan anak. Sayyidina Ali RA
berkata; ilmu yang pertama kali diperkenalkan kepada anak adalah mengenal
Allah. Bagaimana mungkin anak yang dititipkan Allah kepada kita ternyata tidak
kita kenalkan kepada yang menitipkan. Ini adalah
kesalahan fatal yang banyak dilakukan orang tua. Agama adalah fondasi kehidupan
yang memberikan arah dan tujuan kehidupan. Tanpa agama berarti anak kita akan
hidup tanpa arah dan tujuan. Banyak orang tua yang tidak menaruh perhatian
urusan sholat, membaca Al-Quran dan sebagainya kepada anak, sehingga anak menjadi kering ruhaninya, gersang spiritualitasnya, jauh dari Tuhannya tidak kenal Nabi dan kitab
sucinya. Kalau sudah demikian, tidak mungkin kita berharap anak menjadi sholih
karena orang sholih adalah “memenuhi hak-hak Allah dengan beribadah sholat dan
hak-hak hamba-Nya”.
Anak sholih tidak lahir di sekolah, tapi lahir dari pendidikan keluarga yang hangat dan mesra, berbasis
keimanan kepada Allah. Kita bisa belajar dari kisah Luqman Al Hakim dan
keluarga Imron yang namanya diabadikan dalam Al-Quran, karena keberhasilan
mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak sholih. Mereka mendidik anak-anaknya
tentang keimanan, tauhid, etika, pola hidup dan lain sebagainya secara langsung
dan sungguh-sungguh karena anak adalah aset dunia akhirat.
Banyaknya kasus tawuran,
penyimpangan perilaku seks, pornografi, narkoba dan lain sebagainya yang
melibatkan siswa/ pelajar adalah bukti nyata kegagalan pendidikan formal dalam membangun karakter dan adab perilaku
anak sekaligus meyakinkan kita semua bahwa penguatan pendidikan keluarga terutama
pendidikan agama harus segera dilakukan. Kita harus lebih hati-hati dan
sungguh-sungguh menjaga anak. Sesibuk apapun orang tua harus memberikan waktu yang
signifikan kepada anak. Jangan sampai anak justru merasa lebih dekat dengan
alat-alat tehnologi, gadenganet, HP, TV dan lain sebagainya daripada
dengan orang tua. Jangan sampai anak justru merasa lebih senang dengan
ketiadaan orang tua karena bisa berbuat bebas apa saja bahkan yang negatif
sekalipun, karena keberadaan orang tua bagi mereka adalah ketidaknyamanan
karena pendekatan orang tua yang salah, tidak komunikatif dan cenderung selalu
menyalahkan anak.
Doa orang tua untuk anak
Bagian terakhir dari tulisan ini adalah
doa. Namun demikian, bukan berarti yang terakhir itu tidak penting.
Justru inilah senjata pamungkas orang-orang yang beriman, Al-Du’a siroj
Al-Mukminin. Pemilihan pasangan, rizki yang halal dan pendidikan adalah
usaha dan ikhtiar kita sebagai hamba yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Sang penentu adalah Allah. Makanya jangan pernah meremehkan doa, karena dalam doa tersebut ada keber-serahan dan
ketawakkalan kita kepada Allah. Allah sangat mencintai orang-orang yang
tawakkal. Orang yang tidak mau berdoa,
menunjukkan kesombongan dan ketidak tahu diriannya sebagai hamba yang sangat lemah.
Kalau para Nabi dan Rasul saja berdoa minta anak sholih, apalagi kita yang bukan siapa-siapa.