Oleh: Suparman, M.HI
Banyak orang yang berasumsi bahwa ibadah itu hanya ada pada shalat,
puasa, zakat, haji serta perbuatan yang secara nyata berkaitan langsung dengan
Allah SWT atau masalah yang berkaitan dengan akhirat. Sedangkan urusan kedunian
seperti bisnis, kerja mencari nafkah dianggap dan sebagainya hanya dianggap
sebagai urusan dunia yang tidak berhubungan dengan ibadah kepada Allah SWT atau
dengan balasan di akhirat.
Kesalahan cara pandang ini berakibat pada perbedaan dalam
menjalankan aktifitas tersebut. Nilai kejujuran yang menjadi salah satu tujuan
ibadah akan tampak ketika mengerjakan shalat, puasa dan semacamnya. Sebaliknya
nilai itu akan mudah menjadi hilang ketika menjalankan bisnis, berdagang,
bekerja dan semacamnya.
Pada saat seseorang melaksanakan shalat, puasa dan semacamnya, tertanam
kuat keyakinan bahwa itu adalah ibadah
yang diperintahkan Allah SWT, sehingga Allah SWT lah yang menjadi pengawas
secara langsung. Apapun yang terjadi Allah SWT pasti mengetahuinya. Setiap ada
kekurangan dari ibadah itu, Allah SWT pasti diketahui. Sehingga tidak
seorangpun yang berani melakukan manipulasi ketika menunaikan ibadah tersebut.
Sebaliknya dalam bisnis, kerja dan semacamnya, tidak adanya
keyakinan bahwa hal itu merupakan ibadah, menjadikan seseorang hanya menganggapnya
hanya sekedar hubungan sosial antar manusia. Manusialah yang menjadi obyek
hubungan tersebut, yang mengawasi dan menilai apa yang dilakukan. Manusia
sebagai tempatnya salah dan lupa sangat
gampang untuk ditipu dan menjadi korban manipulasi. Akibatnya terjadilah
kecurangan dalam bisnis, korupsi dan semacamnya.
Sejatinya, dalam setiap perintah Allah SWT terkandung nilai ibadah. Di sisi lain, semua yang dikerjakan manusia,
asalkan merupakan perbuatan baik, adalah perintah Allah SWT. Dalam hal bekerja
mencari nafkah, Allah SWT memerintahkan:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي
الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS.
Al Jum’ah, 10)
Karena merupakan perintah, maka ketika seseorang bekerja mencari
rizki dengan cara yang halal, berarti ia sedang melaksanakan perintah Allah SWT.
Menjadi sebuah ibadah jika dilandasi niat melaksanakan perintah Allah SWT
tersebut. Apalagi jika kemudian dijadikan
perantara untuk melaksanakan semua perintah Allah SWT yang lain. Misalnya mencari
rizki untuk menafkahi keluarga, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu, sepanjang saat dan waktu seseorang bisa
melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Ketika beraktifitas sehari-hari di pasar,
kantor,sekolah, kampus dan lainnya, ibadah dapat dilaksanakan, asalkan didasarkan
motifasi untuk melaksanakan perintah Allah SWT maka akan menjadi ladang untuk mengabdikan
diri kepada Allah SWT.
Ketika nilai ibadah ini sudah tertanam di dalam seluruh aktifitas
keduniaan, maka akan timbul kesadaran bahwa yang menjadi pengawas bukan hanya
manusia yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan, tetapi Allah SWT yang
Maha Mengetahui tanpa sedikitpun ada yang terlewatkan, ikut mengawasinya. Di
sinilah akan muncul nilai-nilai kejujuran yang tidak hanya didasarkan oleh
ketakukan kepada manusia, tetapi karena taqwa kepada Allah SWT.
Selanjutnya, muncul pula kesadaran bahwa apa yang didapatkan dari
hasil kerja tersebut adalah semata anugerah dan rizki yang diberikan Allah SWT.
Semua yang ada di dunia adalah milik Allah SWT yang dipersiapkan untuk
kemakmuran hidup manusia. Kadang kala Allah SWT memberikan milik-Nya itu sesuai
dengan usaha yang dilakukan, namun tidak jarang secara “gratis”, di luar
rencana dan perhitungan nalar sehat,
melalui jalan yang tidak terduga sebelumnya (min haitsu la yahtasib). Oleh
karena itu, apa yang pada manusia hakikatnya milik Allah SWT, bukan milik
manusia seutuhnya.
Jika kesadaran ini telah tertanam dengan baik, maka sifat lapang
dada dan hati yang bersih dari sifat cinta dunia akan segera tersemai. Tidak
diperbudak dunia karena ia menyadari bahwa harta adalah sarana untuk beribadah
kepada Allah. Muncul pula sifat murah hati dan ringan tangan untuk
membantu orang lain. Begitu pula dengan
kesadaran bawa semua yang dimiliki adalah hak mutlak dari Allah SWT yang akan
diambil kapanpun Allah SWT kehendaki.
Ketika Allah SWT, sebagai pemilik harta memerintahkan agar harta
tersebut diberikan kepada orang lain, yakni melalui zakat, infaq dan sedekah, maka
dengan segera perintah itu dilaksanakan. Sebaliknya hati tidak akan berat
ketika harus kehilangan apa yang dimiliki, karena hal itu berarti batas waktu hak
guna pakai yang diberikan SWT telah berakhir.