Oleh
: Suwardi, M.Hi
Islam diyakini sebagai agama yang universal, untuk
seluruh umat manusia, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran
Islam berlaku untuk seluruh umat manusia. (QS
Saba (34): 28 dan QS Al-Anbiya (21): 107). Oleh karena itu, Islam seharusnya
dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi
dan kondisi di mana manusia itu berada. Islam dapat berhadapan dengan
masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat
tradisional. Islam senantiasa cocok untuk umat manusia kapan pun dan dimanapun.
Secara garis besar,
karakter ajaran
Islam dibedakan menjadi dua kelompok, qath’iyyat dan zhanniyat. Pertama,
ajaran Islam yang bersifat absolut, universal dan permanen, tidak berubah dan
tidak dapat diubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran Islam yang tercantum
dalam al-Qur’an dan al-Hadits mutawatir yang penunjukannya telah jelas (qath’i al-dalalah). Kedua ajaran
Islam yang bersifat relatif, tidak universal dan tidak permanen, dapat berubah
dan diubah yang berakar pada nash yang zhanniyat yang membuka
ruang berijtihad. (Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 12)
Ranah kedua ini memberikan kemungkinan epistemilogis
hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam
secara berbeda-beda karena faktor sejarah, sosiologis, situasi dan kondisi yang
berbeda yang melingkupi para mujtahid. Inilah yang disebut fiqh. Dalam sebuah kaidah diungkapkan “Fatwa
hukum Islam dapat berubah sebab berubahnya masa, tempat, situasi, dorongan, dan
motivasi”. (Ibnu
al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1977), cet. Ke-2, juz III, hlm. 14)
Secara sepintas dapat dipahami bahwa ajaran Islam memberikan
kesempatan kepada para pemeluknya untuk
berdialog dan berdialektika dengan kultur lokal dengan harapan mampu melahirkan
Islam yang lebih khas nuansa dan muatan lokalnya. Oleh karena itu, ijtihad merupakan pilihan utama dalam
melakukan komunikasi tersebut.
Dalam konteks ijtihad tersebut, perlu ditegaskan bahwa
tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam
secara keseluruhan yang rahmatan lil’alamin. Bahkan al-Syatibi
menegaskaan dalam kitabnya: “Telah diketahui bahwa hukum Islam itu
disyariatkan atau diundangkan untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara
mutlak“. (Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, (Beirut:
Dar al-Fikr, tt.), juz II, hlm. 19)
Dalam ungkapan yang lain Yusuf
Qardawi menyatakan: “Di mana ada maslahat, disanalah hukum Allah”.(Yusuf Qardawi, al-Ijtihad
al-Mu,asir, (Dar at-Tauzi’ wa an-Nasy al-Islamiyah, 1994), hlm. 68).
Dalam konteks karakter dasar Islam, jelaslah peringatan
maulid Nabi s.a.w. berada dalam wilayah dzanni, bukan qath’i, ia tidak berada
dalam wilayah ibadah mahdah, ia berada dalam wilayah yang produk hukum fiqh, ia
berada dalam wilayah furu’iyah, bukan ushuliyyah.
Dari sisi tujuan hukum Islam, perayaan maulid berada di dalam
koridor kemaslahatan yang menjadi tujuan utama hukum Islam. Sisi maslahat yang
dapat dipetik adalah. Pertama, sebagai bentuk pengagungan terhadap
orang yang berjasa besar. Nabi Muhammad s.a.w. memang manusia biasa, tetapi
beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah
diberi wahyu, beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi
seluruh alam. Oleh karena itu, sebagian umat Islam menganggap kelahirannya
sangat layak untuk diperingati.
Makna peringatan maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang
diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai
bentuk pengagungan dan penghormatan (ta’zhîman wa takrîman) terhadap
beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah. Itulah yang menjadikan
beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan
beliau tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah S.W.T., yang
tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah S.W.T. berfirman yang
artinya: Katakanlah,
“Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi
wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah
kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya.” (Q.S. Fushshilat [41]:
6).
Kedua. Napak tilas perjalanan kepemimpinan sang Nabi
Teragung. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. dalam menjalankan tugasnya
sebagai ulama sekaligus umara' tidak bisa
dilepaskan dari sifat- sifatnya yang luar biasa. Yaitu; Shiddiq (jujur), Amanah
(dapat dipercaya), Fathanah (cerdas) dan Tabligh (menyampaikan).
Nabi Muhammad SAW
mempunyai kewibawaan (Kharisma) yang luar biasa karena beliau orang biasa yang
mendapat tugas sebagai nabi dan rasul. Kesuksesan beliau dalam mengemban tugas
kenabian dan kerasulan karena beliau orang yang berwibawa atau kharismatik,
karena beliau mempunyai dan menjalanan sifat- sifat di atas (Shiddiq, Amanah,
Fathanah dan Tablig).
Jika hal ini dibaca
dalam konteks sekarang, maka seorang pemimpin atau yang hendak memimpin
setidak-tidaknya harus memiliki empat sifat tersebut. Yakni, seorang pemimpin
harus jujur, bukan orang yang suka berbohong dalam tindakannya, seorang
pemimpin harus amanah, sangat tidak mungkin jika seorang pemimpin muncul dari
kalangan penghianat, jika itu terjadi maka rakyatnya akan menjadi korban,
seorang pemimpin harus cerdas, seorang pimpinan tidak ubahnya seorang menager,
jadi dibutuhkan kecerdasan ekstra dalam mengatur kepentingan orang banyak, dan
terakhir, seorang pemimpin harus tabligh, artinya harus berani menyampaikan
pesoalan- persoalan yang Hak (benar) dan yang Bathil (ingkar).