AZKA AL BAITUL AMIEN JEMBER
Jl. Sultan Agung No 2 Jember Telp. 0331-425509

MAULID NABI SAW DALAM TIMBANGAN MASLAHAH

Oleh : Suwardi, M.Hi

Islam diyakini sebagai agama yang universal, untuk seluruh umat manusia, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia. (QS Saba (34): 28 dan QS Al-Anbiya (21): 107). Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu berada. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat tradisional. Islam senantiasa cocok untuk umat manusia kapan pun dan dimanapun.

Secara garis besar, karakter ajaran Islam dibedakan menjadi dua kelompok, qath’iyyat dan zhanniyat. Pertama, ajaran Islam yang bersifat absolut, universal dan permanen, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits mutawatir yang penunjukannya telah jelas (qath’i al-dalalah). Kedua ajaran Islam yang bersifat relatif, tidak universal dan tidak permanen, dapat berubah dan diubah yang berakar pada nash yang zhanniyat yang membuka ruang berijtihad. (Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 12)

Ranah kedua ini memberikan kemungkinan epistemilogis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda karena faktor sejarah, sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda yang melingkupi para mujtahid. Inilah yang disebut fiqh. Dalam sebuah kaidah diungkapkan Fatwa hukum Islam dapat berubah sebab berubahnya masa, tempat, situasi, dorongan, dan motivasi”. (Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), cet. Ke-2, juz III, hlm. 14)

Secara sepintas dapat dipahami bahwa ajaran Islam memberikan kesempatan kepada para pemeluknya untuk berdialog dan berdialektika dengan kultur lokal dengan harapan mampu melahirkan Islam yang lebih khas nuansa dan muatan lokalnya. Oleh karena itu, ijtihad merupakan pilihan utama dalam melakukan komunikasi tersebut.

Dalam konteks ijtihad tersebut, perlu ditegaskan bahwa tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil’alamin. Bahkan al-Syatibi menegaskaan dalam kitabnya: “Telah diketahui bahwa hukum Islam itu disyariatkan atau diundangkan untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak“. (Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz II, hlm. 19)
Dalam ungkapan yang lain Yusuf Qardawi menyatakan: “Di mana ada maslahat, disanalah hukum Allah”.(Yusuf Qardawi, al-Ijtihad al-Mu,asir, (Dar at-Tauzi’ wa an-Nasy al-Islamiyah, 1994), hlm. 68).
Dalam konteks karakter dasar Islam, jelaslah peringatan maulid Nabi s.a.w. berada dalam wilayah dzanni, bukan qath’i, ia tidak berada dalam wilayah ibadah mahdah, ia berada dalam wilayah yang produk hukum fiqh, ia berada dalam wilayah furu’iyah, bukan ushuliyyah.

Dari sisi tujuan hukum Islam, perayaan maulid berada di dalam koridor kemaslahatan yang menjadi tujuan utama hukum Islam. Sisi maslahat yang dapat dipetik adalah. Pertama, sebagai bentuk pengagungan terhadap orang yang berjasa besar. Nabi Muhammad s.a.w. memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu, beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, sebagian umat Islam menganggap kelahirannya sangat layak untuk diperingati.

Makna peringatan maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan (ta’zhîman wa takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah. Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau  tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah S.W.T., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah S.W.T. berfirman yang artinya: Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya.” (Q.S. Fushshilat [41]: 6).

Kedua. Napak tilas perjalanan kepemimpinan sang Nabi Teragung. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. dalam menjalankan tugasnya sebagai ulama sekaligus umara'  tidak bisa dilepaskan dari sifat- sifatnya yang luar biasa. Yaitu; Shiddiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Fathanah (cerdas) dan Tabligh (menyampaikan).
Nabi Muhammad SAW mempunyai kewibawaan (Kharisma) yang luar biasa karena beliau orang biasa yang mendapat tugas sebagai nabi dan rasul. Kesuksesan beliau dalam mengemban tugas kenabian dan kerasulan karena beliau orang yang berwibawa atau kharismatik, karena beliau mempunyai dan menjalanan sifat- sifat di atas (Shiddiq, Amanah, Fathanah dan Tablig). 

Jika hal ini dibaca dalam konteks sekarang, maka seorang pemimpin atau yang hendak memimpin setidak-tidaknya harus memiliki empat sifat tersebut. Yakni, seorang pemimpin harus jujur, bukan orang yang suka berbohong dalam tindakannya, seorang pemimpin harus amanah, sangat tidak mungkin jika seorang pemimpin muncul dari kalangan penghianat, jika itu terjadi maka rakyatnya akan menjadi korban, seorang pemimpin harus cerdas, seorang pimpinan tidak ubahnya seorang menager, jadi dibutuhkan kecerdasan ekstra dalam mengatur kepentingan orang banyak, dan terakhir, seorang pemimpin harus tabligh, artinya harus berani menyampaikan pesoalan- persoalan yang Hak (benar) dan yang Bathil (ingkar).

Al-hasil, inilah beberapa nilai kemaslahatan yang terkandung di dalam acara pelaksanaan maulid. Yakni, sebagai media mengagungkan Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang berjasa besar kepada umat manusia serta ajang napak tilas perjalanan pemimpin yang sukses. Wallahu A'lam.