AZKA AL BAITUL AMIEN JEMBER
Jl. Sultan Agung No 2 Jember Telp. 0331-425509

SHAHWAT MALAKIYAH Vs SHAHWAT BAHIMIYAH

(Hikmah Puasa)
Suwardi, M.Hi

Dalam waktu dekat segenap kaum muslimin akan kedatangan tamu yang sangat agung, yaitu bulan suci ramadhan namanya. Dalam bulan ini mereka istirahat dari segalanya, terutama dari hiruk pikuk dunia. Mereka sangat bangga menyambut datangnya  bulan yang penuh ampunan ini serasa tidak ingin menyia-nyiakan kedatangan bulan yang penuh kasih sayang ini.
Disamping memang sebagai kewajiban untuk menjalani ritual puasa, banyak sabda Rasul yang menta’kid (menguatkan) tentang anjuran berbangga hati dengan datangnya bulan kemerdekaan ini. Ilustrasi  seperti  ungkapan di atas  dialami oleh orang-orang yang tingkat keimanannya sangat kuat akan kesucian bulan ramadhan atau dengan bahasa lain, orang yang khawasi al- khawas yang bisa merasakannya.
Sebagian golongan lain dari kaum muslimin ada yang  mempunyai perasaan biasa- biasa saja, yakni perasaanya sama antara datang dan tidaknya bulan ramadhan ini. Kedatangan bulan penuh pengampunan ini tidak membuat mereka beranjak  untuk minta ampun  (bertaubat). Kedatangan bulan suci  pun tak membuat mereka untuk melakukan instropeksi (mawas diri). Seolah bulan penuh rahmat  datang dan berlalu dengan begitu saja tanpa ada atsar dalam kunjungannya.
Itulah gambaran perasaan hati kaum muslimin saat menyambut bulan ramadhan. Di sisi lain, Sebagai suatu kewajiban untuk melaksanakan puasa sudah barang tentu salah satu tujuanya untuk meningkatkan ketakwaan bagi kaum muslimin sebagaimana amanat firman Allah dalam al-Qur’an surat al- Baqarah (2): 183
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Dalam ayat ini, Allah SWT tidak berfirman dengan menggunakan redaksi: “Agar kamu sekalian menderita”, atau “sehat”, atau “bersahaja (hemat)”. Akan tetapi Allah SWT berfirman dengan menggunakan redaksi, agar kamu sekalian bertakwa. Dengan demikian, ayat tersebut dapat kita pahami bahwa Allah SWT menjadikan puasa sebagai ujian ruhani (spiritual) dan moral, dan sebagai media (sarana) untuk mencapai sifat dan kedudukan orang-orang yang bertakwa. Allah SWT menjadikan pula taqwa sebagai tujuan utama dari pengalaman ibadah puasa tersebut.
Ibnu Mas’ud ra. merumuskan sebuah kaidah dalam memahami ayat Al-Qur’an yang diawali dengan seruan, Hai orang-orang yang beriman, “Jika kalian mendengar atau membaca ayat Al-Qur’an yang diawali dengan seruan, hai orang-orang yang beriman, maka perhatikanlah dengan saksama, karena setelah seruan itu tidak lain adalah sebuah kebaikan yang Allah perintahkan, atau sebuah keburukan yang Allah larang.” 
Al-Ghazali pun telah menguraikan hikmah puasa ini dalam kitab monumentalnya, Ihya 'Ulum Ad-Din. Ia berkata: “Tujuan puasa adalah agar kita berakhlak dengan akhlak Allah SWT, dan meneladani perilaku malaikat dalam hal menahan diri dari hawa nafsu, sesungguhnya malaikat bersih dari hawa nafsu.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kedudukan (derajat) di atas binatang karena mendapat karunia cahaya akal pikiran yang mampu mengalahkan hawa nafsunya, dan di bawah derajat malaikat karena manusia diliputi hawa nafsu. Manusia diuji dengan melakukan mujahadah (memerangi)  terhadap hawa nafsunya. Jika ia terbuai oleh hawa nafsunya, ia akan jatuh ke dalam derajat yang paling rendah, masuk dalam perilaku binatang. Dan Jika ia dapat menundukkan (mengekang) hawa nafsunya, ia naik ke derajat yang paling tinggi dan masuk dalam tingkatan malaikat.”
Ibnu Al-Qayim menambahkan hikmah puasa ini dengan menjelaskan secara terperinci: “Tujuan puasa adalah mengekang diri dari hawa nafsu dan menundukkannya, mendapatkan kesenangan dan kenikmatan hakiki serta kehidupan yang suci dan abadi, turut merasakan lapar dan dahaga yang teramat sangat agar peka terhadap rasa lapar dan dahaga yang dirasakan kaum fakir- miskin dalam menjalani hidupnya, mempersempit jalannya setan dengan cara mempersempit jalur makanan dan minuman, mengontrol kekuatan tubuh yang begitu liar karena pengaruh tabiat (hawa nafsu) sehingga membahayakan kehidupan dunia dan akhirat, menenangkan masing-masing organ dan setiap kekuatan dari keliarannya, dan menali-kendalinya. Sebab puasa merupakan tali kendali dan perisai bagi orang-orang yang bertakwa serta training (penggemblengan) diri bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.”
Sabda Rasul SAW  diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud: “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah mampu biayanya hendaklah menikah, karena menikah  lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Jika tidak (belum) mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa melemahkan keinginan” (Ibanah al- Ahkam, Juz: 3, hal: 244)
Hadist di atas menerangkan bahwa puasa merupakan senjata pamungkas untuk memecahkan keinginan seseorang, lebih-lebih para pemuda yang berhasrat kuat untuk “kawin”. Sebab kawin sebelum nikah merupakan perbuatan yang sangat fatal dan sangat dilarang oleh ajaran Islam. Di sisi lain, kawin sebelum nikah merupakan kebiasaan binatang (bahimah), jadi sangat tercela jika dilakukan manusia.
Dengan demikian puasa merupakan salah satu sarana ibadah yang bisa mengangkat derajat/ kedudukan manusia, dari derajat Bahimiyah menuju derajat Malakiyah. Wa Allahu A’lam bi al- Shawab