Salah satu kewajiban seorang muslim yang mampu
secara finansial adalah berzakat. Ibadah zakat, hendaknya menjadi perhatian
bagi para muzakki (pemberi zakat). Yakni bagaimana cara
menyalurkan/mendistribusikan zakat kepada mustahik (penerima zakat).
Masih berkembangnya pemahaman di tengah
masyarakat bahwa zakat itu lebih afdhal dan lebih baik apabila muzakki
menyalurkan langsung zakatnya kepada para mustahik, tanpa melalui perantara
amil. Sebagian masyarakat merasa penyaluran langsung ini lebih efektif, karena
mereka bisa melihat kondisi riil para penerima zakat.
Dengan pemahaman seperti ini, maka praktek
membagi-bagikan uang kepada ribuan mustahik yang mengantri, masih kerap
terjadi. Meski menyalurkan langsung ini tidak dilarang, namun misi zakat untuk
mengentaskan kemiskinan dipastikan akan sulit terwujud. Juga dari sisi
kemanusiaan, praktek tersebut kurang manusiawi dan cenderung merendahkan harkat
dan martabat mustahik.
Perlu kita ingat, 2,5% yang kita keluarkan
berupa zakat itu bukan milik kita, tetapi milik mustahik. Oleh sebab itu,
ketika mengeluarkan zakat, bukan berarti mengeluarkan harta kita. Tetapi
sebaliknya, kita sedang mengeluarkan harta milik orang lain yang berhak. Kita
harus benar-benar memerhatikan ketika memberikan hak orang lain kepada yang
berhak.
Idealnya zakat itu dikeluarkan lewat lembaga
amil. Mengapa? Karena, jika lewat lembaga amil maka dampak positif dari zakat
menjadi lebih besar. Misalnya, kalau kita mengeluarkan zakat lima puluh ribu, &
disalurkan langsung kepada mustahik, paling uang lima puluh ribu itu dipakai untuk
makan sekali atau dua kali. Tetapi, jika menyalurkan lewat lembaga sebesar lima
puluh ribu, lalu lembaga itu memiliki ribuan donatur, maka terkumpul dana yang
sangat besar dan disalurkan dalam bentuk program.
Azka Al Baitul Amien menyalurkan dana zakat,
infaq & shadaqah tidak hanya bersifat bagi-bagi uang (charity), tapi menyalurkannya dalam bentuk program.
Contoh, program beasiswa pendidikan, dengan lima puluh ribu yang kita titipkan
akan disalurkan dalam bentuk beasiswa kepada yatim/piatu/dhuafa yang bersekolah.
Hal ini membuat ratusan anak bisa sekolah.
Allah SWT berfirman: “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka…” (QS At Taubah: 103).
Dengan awal kalimat ayat di atas secara jelas bisa fahami bahwa ada orang
diantara umat Islam yang diperintahkan untuk mengambil zakat dari kalangan
berada diantara orang Islam.
Lebih lanjut Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, ‘amil
(pengurus-pengurus zakat) , para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At
Taubah: 60).
Dalam undang-undang perzakatan nomor 23 tahun
2011 hasil Judicial Refiew, mahkamah konstitusi memberikan putusan bahwa yang
boleh mengumpulkan dan mendayagunakan zakat adalah BAZNAZ, LAZ atau kelomok
yang mendapat izin.
Jika merujuk pada apa yang telah dipraktekkan Rasulullah
SAW, maka kita akan menemukan fakta bahwa tidak pernah ada contohnya di zaman
Nabi, seorang muzakki menyalurkan zakatnya secara langsung kepada mustahik
tanpa melalui amil. Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa memberikannya (zakat) karena
berharap mendapatkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan
mengeluarkannya, kami akan mengambilnya (zakat), ….” (HR Nasa’i).
Dengan kata kami akan mengambilnya” menunjukkan
rasulullah sebagai kepala pemerintahan memberikan tugas khusus bagi suatu
lembaga pemungut zakat.
Menurut Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal,
munculnya praktek penyaluran langsung itu mulai terjadi pada masa transisi
kekuasaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib RA kepada Dinasti Umayyah. Abu Ubaid
mengutip pernyataan Ibnu Umar, ketika ditanya oleh masyarakat, mengatakan bahwa
apabila terjadi situasi yang bersifat chaos, dimana terjadi instabilitas
pemerintahan akibat konflik ataupun kudeta politik, maka menyalurkan zakat
secara langsung kepada mustahik diperbolehkan.
Dalam konteks kekinian, situasi chaos ini dapat
kita terjemahkan sebagai kondisi yang bersifat ekstrim dan tidak biasa terjadi.
Sebagai contoh adalah bencana alam, kudeta pemerintahan, perang antar etnis,
dan sebagainya. Atau bisa juga kita artikan sebagai suatu keadaan dimana di
suatu daerah, tidak terdapat sama sekali institusi amil zakat, baik BAZNAS
maupun LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Dalam situasi seperti ini, maka seseorang bisa
langsung menyalurkan zakat kepada yang mereka membutuhkan tanpa melalui amil.
Sebaliknya, apabila situasi yang terjadi adalah bersifat normal, maka
mengkonsolidasikan penghimpunan dana pada lembaga amil, menjadi satu hal yang
perlu untuk dilakukan umat ini.
Karena itu, dalam QS 9: 60, Allah SWT secara
eksplisit telah menegaskan keberadaan amil, sebagai lembaga yang menjalankan
fungsi intermediasi antara muzakki dengan mustahik. Keberhasilan pelaksanaan
fungsi intermediasi ini sangat menentukan pencapaian tujuan ibadah zakat itu
sendiri. Wallahu
a’lam.