Oleh: Suparman, S.Ag,
M.HI
Iftitah
Secara bahasa “yatim”
berasal dari bahasa arab. Dari fi’il madli “yatama” mudlori’ “yaitamu”
yang berarti sedih. Atau bermakna: sendiri. Sedangkan kata yatim
sendiri berbentuk isim fail, sehingga artinya adalah orang yang sendiri atau
orang yang sedih. Adapun menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan anak
yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Sebagian ulama menyatakan
bahwa batas penamaan anak yatim adalah sampai baligh, sedangkan sebagian lain
menyatatakan walaupun sudah baligh tetap disebut anak yatim. (Tafsir Al Khazin, I hal 144)
Sejarah telah
berbicara bahwa Rasulullah SAW adalah anak yatim. Terlahir dalam keadaan yatim,
ditinggalkan oleh ayah tercinta semenjak masih dalam kandungan. Sejak kecil tidak
pernah mendapatkan kasih sayang ayahnya. Dan beberapa waktu berselang, sang
ibupun pergi menghadap yang kuasa.
Nabi Muhammad SAW
tetaplah seorang manusia yang bisa mengalami kesedihan karena ditinggal orang
yang sangat dicintai. Hanya karena pertolongan dan kekuataan yang diberikan
Allah SWT, serta kasih sayang dan perlindungan dari orang-orang yang
mencintainya, Nabi SAW tetap kuat
menghadapi kondisi yang sangat sulit tersebut dan menjalani hidup dengan
kesuksesaan yang gemilang.
Oleh karena itu, beliau
sangat mengerti bagaimana kondisi psikologis seorang yang kehilangan orang
tuanya. Itulah sebabnya mengapa kemudian beliau memberikan perhatian yang lebih
kepada anak yatim. Memperhatikan kehidupan mereka agar kuat dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Perhatian ini disamping
karena pengalaman pribadi Rasulullah SAW yang tumbuh besar sebagai anak yatim,
tetapi lebih karena melihat kenyataan tentang kondisi sosial anak yatim yang
banyak mendapatkan perlakuan tidak adil dari masyarakat. Ketidakberdayaan
secara ekonomi dan sosial menjadikan mereka sangat rentan menjadi bahan
eksploitasi oknum yang tidak bertanggung jawab. Begitu pula kondisi psikologis
mereka yang tumbuh besar tanpa kasih sayang dan bimbingan orang tuanya,
terkadang menjadikan mereka sangat mudah terpengaruh hal-hal negatif yang dapat
menyebabkan mereka tidak terkontrol dan dianggap “sampah” masyarakat.
Kepedulian Kepada Anak Yatim
Terdapat banyak hadits
yang menjelaskan keutamaan memperhatikan anak yatim. Hadits yang paling mashur adalah sabda Rasulullah
SAW:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَافِلُ
الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِى الْجَنَّةِ ».
وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى.(رواه البخاري)
"Aku
dan pemeliharaan anak yatim, akan berada di syurga kelak", sambil
mengisyaratkan dan mensejajarkan kedua jari tengah dan telunjuknya, demikianlah
sabda baginda s.a.w. (H.R. Bukhari)
Dalam hadis yang lain baginda s.a.w. bersabda
عَنْ
مَالِكِ بْنِ الْحَارِثِ ر أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ضَمَّ يَتِيمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ إِلَى
طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
الْبَتَّةَ(رواه أحمد)
Dari Malik bin Al Harits, sesungguhnya ia mendengar
Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim
diantara dua orang tua yang muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga
mencukupinya maka ia pasti masuk surga.” (HR. Ahmad)
Dan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda :
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
قَبَضَ يَتِيمًا مِنْ بَيْنِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ
أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ إِلَّا أَنْ يَعْمَلَ ذَنْبًا لَا يُغْفَرُ لَهُ ( سنن الترمذي(
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda : barang
siapa yang memberi makan dan minum seorang anak yatim diantara kaum muslimin,
maka Allah akan memasukkannya kedalam surga, kecuali dia melakukan satu dosa
yang tidak diampuni. (Sunan Al Tirmidzi)
Imam Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a.
hadits yang berbunyi :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْ
الْمِسْكِينَ (رواه أحمد )
Dari Abu Hurairoh, bahwa seorang
laki-laki mengadu kepada Nabi saw akan hatinya yang keras, lalu Nabi berkata:
usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin (HR. Ahmad)
Mengusap di sini, tidak
bisa hanya diartikan secara lafdiyah berupa usapan di kepala anak yatim, tetapi
mengandung makna memberikan perhatian, perlindungan dan kasih sayang kepada
anak yatim. (Faidhul Qodir, juz III hal 37)
Inilah beberapa gambaran tentang cara berbuat baik kepada
anak yatim serta pahala yang didapat. Untuk mendapat pahala yang berlimpah ini
memang gampang-gampang sulit. Dianggap gampang karena kita tinggal mencurahkan
kasih sayang dengan memperhatikan pendidikan, ekonomi dan kondisi psikologis
mereka. Tetapi terkadang menjadi berat, karena ternyata niat baik kita untuk menjadikan
anak yatim bisa berdaya, bertolak belakang dengan respon yang diberikan anak
yatim tersebut. Terkadang mereka “tidak mau”, tidak merasa diperdulikan dan
dikasihi, atau melakukan tindakan-tindakan yang membuat kita sakit hati dan merasa
sia-sia membantu mereka. Tantangan ini tidak seharusnya menjadikan kita patah
semangat, justru dijadikan sebagai batu ujian untuk mendapatkan pahala yang
besar tersebut. Karena memang di dalam setiap janji pahala yang berlimpah,
Allah SWT pasti memberikan pula rintangan yang sepadan dengan keutamaan
tersebut.
Ikhtitam
Momentum maulid Nabi SAW yang dirayakan sebagian besar
umat islam, sebisa mungkin dijadikan sebagai sarana untuk lebih menumbuhkan
rasa simpati dan empati anak yatim. Ada rahasia besar dari Allah SWT yang
menggariskan Rasulullah SAW terlahir
sebagai yatim dengan perayaan maulid nabi Muhammad SAW. Terdapat hubungan yang
sangat erat antara keduanya, agar ketika umat umat Islam bersyukur merayakan
maulid Nabi SAW, mereka juga dapat mengingat Rasul SAW yang sedang diperingatinya kelahirannya itu
sebagai sosok anak yatim dengan ajaran-ajarannya yang sangat peduli kepada kaum
lemah, khususnya anak-anak senasib dengan beliau.
Manusia mulia yang sedang kita rayakan kelahirannya itu
adalah Nabi Muhammad SAW, seorang anak yatim yang mendapatkan perhatian dan
cinta kasih penuh dari orang-orang di sekelilingnya sehingga dapat tumbuh
menjadi pribadi tangguh panutan umat manusia. Inilah pelajaran berharga dari maulid Nabi SAW, bagaimana kita bisa menjadi Abdulmuttalib
atau Abu Thalib baru yang memberikan perhatian penuh kepada anak yatim sehingga
mereka yang telah hidup sendiri itu, tidak benar-benar sebatang kara menjalani
kerasnya kehidupan ini.